Saya dan istri menghabiskan sebagian waktu hari ini dalam sebuah rapat karya paroki kami untuk tahun pelayanan 2015. Di awal rapat, seorang Romo Diosesan membawakan sebuah sesi mengenai spiritualitas pelayanan. Beliau, RD Rudi Hartono Pr., menyelipkan sebuah cerita Yunani kuno yang bisa direfleksikan secara mendalam.

Seorang pemuda sedang kabur dari kejaran musuh. Kemudian masuklah pemuda itu ke dalam sebuah desa dan bersembunyi di sama. Kemudian para tentara yang mengejarnya mengancam akan membunuh seluruh penduduk desa, kecuali mereka menyerahkan si pemuda. Perwakilan penduduk desa itu lalu menghadap kepada seorang rabi dan bertanya, “Apa yang harus kami perbuat?” Sang rabi yang bimbang lalu mengambil alkitab, dan menemukan sebuah ayat yang kurang lebih berkata “lebih baik satu orang mati daripada seluruh bangsa binasa”. Segera sang rabi keluar, lalu menyerahkan si pemuda kepada para tentara. Seluruh rakyat pun berpesta merayakan kelolosan mereka dari maut. Namun sang rabi tidak ikut berpesta karena ia merasa sedih sebab sang pemuda harus mati. Datanglah seorang nabi kepadanya dan berkata, “Mengapa engkau menyerahkan mesias kepada para tentara?” Sang rabi terperanjat dan menjawab, “Bagaimana mungkin aku tahu dia adalah seorang mesias? Kalau aku tahu, tidak mungkin ia kuserahkan.” Mendengar jawaban itu, sang nabi kembali berkata, “Andai saja kamu sedikit mengurangi membaca alkitab dan mengambil sedikit waktu untuk melihat pemuda itu, kamu akan tahu.”

Sepulang dari rakar, kami berhenti di sebuah convenient store di dekat rumah. Setelah istri saya masuk ke dalam toko, tepat di samping mobil, ada seorang pengemis tua merangkak menggunakan tangan dalam posisi duduk (kakinya diamputasi). Ia tampak menunduk, agaknya sedang menghitung ‘penghasilannya’ hari ini. Saya terenyuh. Hati saya tergerak untuk menolong. Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apa yang saya harus perbuat untuknya? Memberi uang? Ah, nanti dia belikan rokok. Saya belikan makanan? Bagaimana kalau ternyata dia sudah makan? Kalau saya kasih uang terlalu banyak, apakah nanti malah dia berikan ke penadah? Apakah saya memang kasihan? Atau saya sedang cari perhatian biar dianggap baik? Di saat saya menimang-nimang, bertanya-tanya, sambil melihat sekeliling, mencari makanan yang bisa saya belikan untuknya, seorang tukang gorengan menenteng sebuah kantong plastik berisi gorengan, berjalan ke arah pengemis tua itu, dan menyerahkan plastik tersebut kepadanya.

Saya keluar dari mobil, memberikan selembar lima ribuan dan segelas air kemasan kepada pengemis itu. Dari bibirnya terucap, “Alhamdulillah terima kasih, pak”.

Hujan turun saat saya mengetik tulisan ini. Bayangan saya memikirkan bagaimana kabar si pengemis tua. Tanpa kaki, tanpa payung? Paling tidak dia punya beberapa potong tahu atau bakwan goreng yang mungkin sudah terlanjur dingin untuk menemaninya menunggu hujan reda.

Hujan turun saat saya mengetik tulisan ini. Juga di dalam hati saya, menyesali diri yang terlalu banyak ‘membaca alkitab’, namun kurang ‘melihat’.