Suatu pagi aku terbangun dari tidur panjang, tanpa mimpi yang membuat terjaga dari kelelahan tanpa akhir. Sekelilingku hanya aku. Tiada ada ramai. Seolah-olah aku berdiri di tengah-tengah pepohonan menjulang tinggi dari akar-akarnya yang bercengkerama kuat dengan tanah. Di satu detik, di satu dentang jantung, aku berbicara tentang kematian, tentang dunia setelah mataku tertutup.

Salju tidak turun ketika itu. Dan bebatuan es pun tak tampak. Angin pagi sepoi-sepoi nyaris menghilang. Yang ada hanya sejuk yang menggelitik. Tak ada dingin. Tak ada dingin. Tak ada dingin. Dari dalam, ia keluar. Pun tubuhku merasakan kengerian dan sebuah tanda tanya besar akan misteri kematian yang penuh pedagogi teoritis. Yang aku tanyakan hanya hal-hal sepele: ke mana jiwaku tersungkur, bagaimana rasanya di sana. Hal sepele. Dan hal sepele ini, yang membuat seseorang sepertiku tersingkir dari dunia, menuju tempat pengasingan yang tentu tak seorang pun bisa menjawabnya.

Suatu pagi Aku terutus ke dunia. Tanpa mahkota di kepalaKu, tanpa singgasana di bawah tempat tidurKu.

Suatu siang Aku berdarah-darah. Mahkota di atas kepalaKu, dengan orang-orang mengarakKu. Bukan tongkat di telapak tanganKu, tapi ujung paku yang membuatKu bersandar pada sebuah kayu. Aku penjahat. Aku pendosa. Aku Raja!

Suatu sore Aku pergi dari dunia. Dengan penyerahan bagai domba yang dibawa untuk dikuliti, Aku pergi. Dari dunia.

Aku terbangun dari tidur panjang. Dia pun takut mati. Tapi cawanNya harus terteguk. Dan sadar menyelimuti, ketika aku mati, aku akan tertawa nyaring bahagia. Di lututNya aku akan tersungkur dan hidup abadi dalam damai, selamanya.

 

Johanes Berchman Sigit Noviandi, March 21st, 2008

Good Friday, when He died for washing my sins away…Love You, Lord…