Beberapa hari lalu, saya diminta seorang romo untuk mewakilinya menghadiri sebuah acara Natalan bersama di sebuah komunitas OMK di paroki, sekaligus membawakan renungan singkat di acara tersebut. Saya lalu bermaksud mencari sebuah cerita inspiratif dari buku yang beliau berikan saat HUT Imamat beliau yang ke-20. Buku itu berisi cerita-cerita bermakna yang paling inspiratif baginya. Buku tersebut kemudian menuntun saya pada sebuah cerita mengenai Ibu Teresa.

Suatu ketika, beberapa orang dari Amerika mengunjungi Ibu Teresa di Kalkuta. Saat hendak pamit untuk pulang, mereka meminta Ibu Teresa memberikan pesan atau wejangan untuk mereka. Ibu Teresa kemudian berkata, “Tersenyumlah setiap saat kepada suamimu”, yang dilanjutkan dengan, “Tersenyumlah setiap saat kepada istrimu.”

Orang-orang itu terheran-heran atas pesan Ibu Teresa. Mereka merasa mungkin Ibu Teresa memberikan pesan seperti itu karena ia tidak pernah merasakan beratnya hidup pernikahan. Karenanya, salah seorang dari mereka bertanya, “Ibu Teresa, apakah Anda pernah menikah?” Ibu Teresa lantas berkata sambil tersenyum, “Ya, tidak jarang saya merasa sulit untuk tersenyum kepada Yesus. Dia sering terlalu banyak menuntut.”

Cerita tersebut membuat saya merenung, dan teringat akan betapa sering kita, umat maupun para pelayan di paroki, mengadili para kaum relijius (para pastor, suster, bruder) dengan perkataan “Gampang banget ngomong begitu. Romo/suster/bruder kan tidak menikah, mana tahu sulitnya hidup perkawinan.” Tidak jarang kita meragukan kapabilitas mereka apabila mereka memberikan homili atau nasehat tentang kehidupan rumah tangga. Lebih lagi, mungkin tidak sedikit dari kita, yang apabila terlalu sering diminta bantuan oleh mereka pada waktu-waktu sibuk, berkata dalam hati, “Romo nih sering lupa bahwa kami punya keluarga. Romo sih enak tidak ada suami atau istri atau anak.” Sebenarnya, mungkinkah justru kita yang lupa, bahwa para pastor, suster, atau bruder juga menikah? Bedanya, mereka “menikahi” Yesus. Artinya, mereka “menikahi” seluruh umat, “menikahi” teman-teman satu komunitas mereka (sesama pastor/suster/bruder), “menikahi” orang-orang miskin yang mereka jumpai.

Sama seperti kita yang berkomitmen dan berjanji setia untuk hidup bersama dan melayani keluarga kita, istri/suami, dan anak-anak kita, mereka juga berkomitmen dan berjanji setia untuk hidup bersama dan melayani umat, melayani Tuhan. Kalau mau ditelusuri lebih jauh, tantangan yang mereka hadapi dalam hidup “pernikahan” bisa jadi jauh lebih besar daripada yang kita hadapi. Kita menikahi orang pilihan kita, yang kita kenal saat masa pacaran. Mereka sebaliknya, “menikahi” orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya. Mereka terjun ke tengah-tengah umat yang mereka tidak tahu. Mereka hidup satu rumah dengan rekan-rekan yang tidak mereka pilih. Kalau kita berjanji setia untuk mencintai dan melayani sekitar 4-7 orang dalam keluarga kita (istri plus anak-anak), mereka berjanji setia untuk melayani puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang itu, yang karakternya berbeda-beda. Bahkan, seperti yang Ibu Teresa katakan, Yesus, yang menjelma dalam diri orang-orang yang mereka layani, sering kali banyak menuntut dan lebih menyulitkan daripada pasangan atau anak-anak kita.

Kalau demikian, ketika para kaum relijius memberikan nasehat mengenai kehidupan dan relasi dalam rumah tangga, bisa jadi mereka memang jauh lebih berpengalaman dari kita?