Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
– Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono –
Kalau ada sebuah pertanyaan, “Siapakah penyair yang paling anda kagumi?” dengan pasti saya akan memberikan dua nama: Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit membahas opini saya mengenai nama kedua.
Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Surakarta, 20 Maret 1940. Ia pernah menjadi dekan dan guru besar di Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Berbagai penghargaan baik dari dalam dan luar negeri pernah ia dapatkan, seperti SEA Write Award dan Penghargaan Achmad Bakrie.
Pertama kali saya “berkenalan” dengan SDD adalah ketika saya duduk di bangku SMA. Saat itu saya sering berkunjung ke perpustakaan sekolah dan di dalamnya saya menemukan koleksi majalah Horison, majalah yang kursus memuat artikel dan karya sastra. Puisi SDD yang pertama kali saya nikmati, dan tentu saja langsung saya hafal adalah “Aku Ingin” yang tersohor itu. Selanjutnya, saya terus memburu karya-karya sastrawan satu ini. Ternyata tidak mudah mencari kumpulan karya-karya nya. Dari hasil perburuan saya di toko buku, saya hanya mendapatkan tiga jilid buku yang memuat karyanya: Membunuh Orang Gila (Kumpulan Cerpen), Tukang Sulap Itu Menghilangkan Panciku (Cerpen), dan Ayat-ayat Api (Kumpulan Sajak).
Yang membuat saya jatuh cinta dan kagum pada tulisan-tulisan SDD adalah kesederhanaan diksi dan kreativitas nya yang menonjol. Kerap kali kata-kata yang sangat sederhana ia gunakan dalam sajak-sajaknya. Terlepas dari kesederhanaan pemilihan katanya, SDD bisa membuat orang berdecak kagum karena kemampuannya memainkan susunan kata. Berikut ini adalah beberapa contoh sajak SDD.
Kami Bertiga
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari
Aku berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
Catatan Masa Kecil 4
Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum neneknya dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar kecili yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.
Tiga Sajak Kecil
/1/
Pada suatu pagi hari
seorang gadis kecil
mengendarai selembar daun
meniti berkas-berkas cahaya.
“Mau ke mana, Wuk?”
“Ke Selatan situ.”
“Mau apa, Wuk?”
“Menangkap kupu-kupu.”
/2/
Pada suatu siang hari
seorang gadis kecil
belajar menggunting kertas,
gorden, dan taplak meja;
“Guntingan-guntingan ini
indah sekali, akan kujahit
jadi perca merah, hijau, dan biru
bahan baju untuk Ibu.”
/3/
Pada suatu malam hari
seorang gadis kecil
menodong ibunya membaca cerita
nina bobok sebelum tidur;
“Malam ini Putri Salju,
kemarin Bawang Putih,
besok Sinderela ya Bu
biar Pangeran datang menjemputku.”
Sajak-sajak Kecil Tentang Cinta
/1/
mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
/2/
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
/3/
mencintai-Mu
harus menjelma aku
Ia Tak Pernah
ia tak pernah berjanji kepada pohon
untuk menerjemahkan burung
menjadi api
ia tak pernah berjanji kepada burung
untuk menyihir api
menjadi pohon
ia tak pernah berjanji kepada api
untuk mengembalikan pohon
kepada burung
Dari puisi-puisi di atas kita bisa melihat kelihaian Sapardi dalam mengolah kata. Sebagai contoh adalah Tiga Sajak Kecil, di mana keseluruhan puisi nya merupakan sebuah alegori tentang siklus hidup manusia: bermain-main ketika masih pagi (masih muda), mulai belajar bekerja ketika siang tiba (beranjak dewasa), dan menanti ajal ketika hari sudah malam (kata Pangeran merupakan metafora dari Malaikat yang menjemput). Contoh lainnya adalah Catatan Masa Kecil 4. Dalam sajak tersebut, tokoh anak dipakai untuk melambangkan keluguan, kepolosan, dan rasa keingintahuan yang besar.
Yang terakhir, saya salinkan salah satu sajak SDD yang paling terkenal, Hujan Bulan Juni. Puisi ini menggambarkan kerinduan seseorang pada pasangannya yang dilambangkan dengan hujan pada bulan Juni. Setelah bulan Juni berlalu, musim kemarau akan datang.
Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Sama seperti proses memahami sebuah lagu, untuk mengerti makna sebuah puisi, akan sangat membantu jika pembaca mengetahui unsur ekstrinsik sajak tersebut, misalnya latar belakang penulisnya, tahun penulisan, tempat penulisan, dan lain-lain. Dengan demikian pembaca akan lebih mudah menangkap peristiwa apa yang diabadikan dalam puisi tersebut. Tidak ada puisi atau sajak yang ditulis tanpa berdasar suatu peristiwa. Dua macam peristiwa ini adalah peristiwa besar yang kita ketahui dan peristiwa-peristiwa pribadi si penulis yang hanya diketahui secara personal oleh penulis itu sendiri. Dalam konteks kedua, pembaca harus jeli membaca unsur intrinsik puisi tersebut, suasana, tempat, perlambangan, dan lain-lain.
Banyak orang yang tidak suka sajak karena sulit mengapresiasikannya dalam bentuk pengertian yang definitif. Buat saya, sajak dan puisi tidak selalu perlu dimengerti. Dengan menikmati keindahan yang disajikan puisi itu sendiri sudah menjadi sebuah bentuk apresiasi. Memahami maknanya, merupakan bentuk apresiasi lain lagi yang lebih mendalam. Selamat menikmati puisi! :)
nb: Beberapa karya SDD juga dimusikalisasikan. Bagi yang tertarik bisa mendownload dari link ini.
tak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan juni…
memang sulit ngertiin sajak…
salah ketik JB…
masa lahirnya Pak Sapardi tahun 2010…
hehe
eeeh iya maap..salaah..:p
I love this :
“aku, pisau dan kata
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata”
Very sharp ! Saya lebih suka Rendra sih, lebih ganas haha.
iya miss..si Pak Sapardi ini lebih kalem, tapi filosofis dan dekat sama kehidupan nyata..ehehe