Sepulang rapat dengan Seksi Kepemudaan dari paroki dan stasi kemarin malam, saya dan istri mengitari komplek sekitar cluster tempat kami tinggal, bermaksud meredakan gemuruh di dalam perut. Saya kemudian mengarahkan mobil masuk ke dalam komplek ruko setelah melihat sebuah petromak masih menyala menerangi gerobak nasi goreng di depan sebuah ruko. Ketika saya parkir, tepat di depan gerobak nasi goreng itu, sebuah kedai kecil yang ditutupi spanduk dan terpal menarik perhatian kami. Di atas spanduk itu terpampang foto-foto ‘produk’ dari si kedai: ayam goreng, soto ayam, dll.
We then decided to buy fried chicken thighs from that small kiosk. Saya turun dari mobil, dan masuk ke dalam kiosk. Terkejut saya, yang menyambut adalah seorang ibu paruh baya dengan postur kecil, agak bungkuk. Dengan ramah dia menanyakan pesanan saya.

Sambil menunggu si ibu menggoreng ayam, saya memulai pembicaraan dengan bertanya di mana ia tinggal, sampai jam berapa kedainya buka, dsb.
Dengan penuh senyum dan keramahan si ibu bercerita bahwa anaknya bekerja di salah satu ruko di depan tempatnya berjualan. Mereka tinggal di sebuah kampung tidak jauh dari komplek kami. Ia berjaga dengan sang suami yang sedang pergi sebentar, dan anaknya yang pulang lebih dulu. Kadang mereka berjualan sampai pukul 2 pagi, bahkan setiap Sabtu dan Minggu kedai mereka buka dari pukul 8 pagi sampai 8 malam. Setiap hari, tanpa libur, mereka banting tulang demi sesuap nasi. Saya seakan-akan terhenyak dan mulai memikirkan hidup saya yang diberkati dengan cukup oleh Tuhan.

Dalam hidup, berpapasan dengan orang-orang sederhana dan bersahaja seperti si ibu selalu membuat saya bersyukur akan semua yang telah Tuhan sediakan. Kami lalu pulang, menyantap ayam goreng yang masih hangat tadi dengan nasi yang sudah dingin, semangkuk kuah soto, beberapa potong mentimun dan sepiring kecil sambal. Saya bersyukur atas makanan-makanan yang diberikan-Nya itu dan atas kejadian-kejadian seperti tadi. Bukan garam atau gula atau penyedap rasa yang membuat makanan-makanan tadi begitu nikmat malam itu. Kesadaran bahwa saya masih bisa menyantapnya di saat orang lain tidak bisa, bahwa saya ada di rumah bersama istri saat sebagian orang masih harus berjualan sampai pagi, yang membuat nasi sedingin es pun terasa lezat.

Jarum jam menunjukkan pukul 00.30 saat itu. Saya mengucap syukur, telah Dia ingatkan untuk terus bersyukur.