Beberapa hari yang lalu saya melintasi salah satu jalan protokol di bilangan Jakarta Pusat, yang di antara kedua ruas jalan tersebut, ada sebuah taman dengan sebuah patung Jenderal Sudirman berdiri tegak, menghormat ke arah depan. Lantas, saya teringat sebuah scene dalam film Nagabonar Jadi 2, di mana si Nagabonar menyuruh patung Jend. Sudirman itu untuk menurunkan tangannya, sambil berkata, “Turunkan tanganmu, Jenderal! Mengapa kau menghormat terus?! Apa karena mereka semua itu menggunakan roda 4 ?! Bah! Tidak semua dari mereka pantas kau hormati!” Scene itu membuat siapa saja yang menonton bergetar. Betapa sosok seorang Nagabonar memberi contoh penghargaan yang luar biasa kepada seorang pahlawan. Moreover, satu bagian kalimat yang diucapin Nagabonar tersebut mengandung makna lebih dalam. “Tidak semua dari mereka pantas kau hormati.”

Sang Merah Putih

Sang Merah Putih

Suatu malam ketika saya sedang menonton televisi, perhatian saya tertuju pada suatu channel tv swasta yang membahas kehidupan party dan gemerlap malam para anak2 muda, terutama para eksekutif muda. Program itu membahas betapa seru dan hebatnya party itu digelar. Bahkan, ada satu sesi di mana seorang pria yang akan melangsungkan pernikahannya, disuguhi party bersama beberapa wanita yang disponsori sebuah perusahaan kondom di Indonesia. Kemudian saya berpikir sejenak dan bertanya-tanya, “Apa ya manfaatnya menghabiskan waktu kaya gitu.” Apakah sebegitu hebatnya menjadi anak “gaul”. Apakah begitu pentingnya hang out malam2, bergoyang mengikuti alunan musik dengan gemerlap lampu bersama beberapa wanita yang berpakaian terkesan vulgar. Bukankah lebih baik stay di rumah, istirahat, dan mempersiapkan diri untuk hari esok yang lebih produktif. Bukankah stay di rumah, mempelajari sesuatu yang baru yang lebih positif to be a better human resource merupakan cara yang lebih baik untuk menghabiskan waktu? Saya juga tidak habis pikir dengan semboyan program tersebut yang terkesan berniat membentuk bangsa yang “cool” dengan cara seperti itu. Apa hebatnya bangsa yang “cool” dalam hal penampilan, dalam hal “pergaulan”, dalam hal “dugem”, kalau tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bisa bersaing dengan bangsa lain dalam konteks ekonomi, teknologi, kesejahteraan, dll. Menurut penelitian Gilang Desti Parahita, Juara Harapan 1 Puteri Indonesia 2005, 80% mahasiswa pernah memasuki tempat dugem, bahkan 70% di antaranya adalah penikmat yang memasuki tempat tersebut karena terbiasa dan prestise. Bisa dibayangkan kalau angka2 tersebut beranjak progressif karena program2 seperti yang ditayangkan salah satu tv swasta tersebut.

Ketika blogwalking sebentar, saya menemukan sebuah artikel menarik. Berikut kutipannya.

Ketika itu, kami baru saja melewati patung Jendral Sudirman dan salah satu atasan saya yang orang Malaysia pernah mengatakan dengan santai dan canda, “Let’s give him a salute! Since every morning, he always gives his salute to the mothafuckas who just got back from “kota”..! Hahahaha!”

Yang ia maksud adalah, kebanyakan orang pulang subuh dari arah “kota” biasanya baru saja selesai dugem, party ataupun jajan perempuan.

Saat itu, saya hanya bisa terdiam, karena ironi yang dinyatakan oleh atasan saya itu memang terjadi. Diam saya dalam amarah; hak apa dia seorang Malaysia berani mengatakan persepsi apa yang terjadi dari fungsi sebuah patung seorang Jendral Besar bangsa Indonesia ini?

Hal lain yang selalu menjadi pertanyaan saya adalah acara sinetron di televisi. Kenapa yah sinetron seperti Si Doel Anak Betawi tidak lagi ditayangkan? Padahal sinetron2 seperti itu menurut saya mengandung banyak nilai moral dan pelajaran bagi masyarakat, seperti betapa pentingnya pendidikan, betapa seharusnya masyarakat mempunyai semangat belajar yang tinggi walau kondisi ekonomi pas2an, dsb. Tapi film2 bermutu seperti ini sepertinya sudah hilang dari peredaran. Apa trend jaman sekarang yang lebih mempopulerkan konflik2 rumit dengan intrik2 yang mengedepankan violence, kelicikan, kejahatan, pergaulan bebas, lebih disukai? Kenapa tidak ada sinetron yang mengedepankan kisah perjuangan para pelajar yang bekerja keras meraih masa depan, tapi justru mempertontonkan cerita para pelajar yang menghabiskan waktu berpacaran, pesta2, main2, dsb. Ironis.

Saya baru memulai membaca sebuah buku karangan Andrea Hirata, Laskar Pelangi. Buku tersebut menceritakan perjuangan anak2 dari kalangan kurang mampu yang dengan segenap kemampuan mereka dan keluarganya, bertekad merubah nasib mereka melalui jalan pendidikan. Baru saja menyelesaikan membaca beberapa bagian awal, saya sudah merasa betapa memprihatinkannya kondisi bangsa ini. Ironis sekali memikirkan kalau masih ada anak2 yang sedemikian kerasnya berjuang mengecap pendidikan guna masa depan yang lebih baik, sementara masih ada juga orang2 yang menghabiskan waktu, uang, dan tenaga untuk bersenang2 demi sesuatu yang tidak berguna. Memang benar apa kata Nagabonar. Tidak semua dari mereka yang beroda 4 pantas dihormati.

Pada hari ulang tahunnya, Indonesia mendapat kado ulang tahun yang begitu berharga dari para anak bangsa yang berlaga di olimpiade Beijing 2008. Satu medali emas disumbangkan oleh Markis Kido dan Hendra Setiawan dari cabang bulutangkis nomor ganda putra setelah mengalahkan Fu Hai Feng/Cai Yun dari China dengan skor 12-21, 21-11, dan 21-16. Saat upacara penerimaan medali, ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan dan bendera Merah Putih berkibar di puncak, momen tersebut benar2 menjadi peristiwa yang mengharukan. Saya saja yang menonton melalui tv hampir meneteskan air mata bangga, apalagi mereka yang ada di sana, terutama Markis/Hendra yang berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di atas bendera negara lainnya. Betapa bangganya Sang Saka Merah Putih berkibar gagah di atas bendera negara2 lainnya. Perjuangan seperti inilah yang patut kita contoh. Bukan mengeluarkan keringat karena lompat2 atau mengangguk2an kepala di tempat dugem, tapi bekerja keras meningkatkan produktivitas kerja sesuai peran kita masing2.

Badminton Men Doubles Beijing Olympics 2008 Gold Medalist

Dedi Mizwar dalam konteks film Nagabonar pernah berkata, “Mari kita berhenti sejenak, untuk melihat sudah sejauh apa bangsa ini melangkah.” Mungkin kalimat itu ada benarnya. Dalam rangka hari kemerdekaan bangsa ini, mari kita sejenak berdiam diri, mengartikannya bukan dengan keramaian lomba2 di lingkungan sekitar, tapi lebih dalam lagi, merenungkan sejenak, sudah sejauh apa kita melangkah. Sudah sepantasnya kita menengok ke belakang, menelusuri satu demi satu perjalanan bangsa ini, agar kita tau sudah sejauh apa bangsa ini melangkah. Sudah sepantasnya kita hening sejenak, menelusuri satu demi satu langkah kita, agar kita tau sudah sebanyak apa tetes keringat yang kita berikan untuk kemajuan bangsa ini. Mungkin dengan demikian kita bisa lebih tergugah, untuk membanting tulang lebih keras bagi sang pertiwi, sehingga bangsa ini bisa kembali terbang. Amin.

Jakarta, 17 Agustus 2008

Atas nama saya sendiri,

Sigit Tampan :D