You have not lived today until you have done something for someone who can never repay you. – John Bunyan

I just got home from a long, exhausting, and very emotional day. Saat mau keluar cluster tempat tunangan saya tinggal, tepat di dekat pos satpam, rantai motor saya lepas dari gearnya. Hujan turun rintik saat itu. Saya pinggirkan motor dan mencoba mengutak-atik rantai yang ternyata masih tersangkut dan lebih sulit untuk diatasi. Unlucky for me, I have no idea how to fix it. Berbekal ingatan masa kecil saat memasang rantai sepeda, saya coba untuk melepas rantai seluruhnya. Hasilnya nihil. Seakan menguji kesabaran, hujan turun semakin deras. Saat mencoba mendorong motor maju dan mundur, tangan kiri saya malah sedikit terkilir karena menahan beban si hitam manis.

Seorang pria menghampiri saya, menanyakan ada apa dengan motor saya, dan jongkok melihat kondisi rantai saya. Rambutnya agak gondrong, wajahnya agak menyeramkan. Saya agak curiga dan was-was. Dia bertanya apakah saya punya kunci untuk mengendorkan rantai dan mengaturnya kembali. Dalam hati saya waspada apa ini hanya MO untuk berbuat macam-macam, tapi saya bertanya-tanya masa sih dia berani berbuat tindak kriminal di dekat pos satpam. Saya berikan perlengkapan utak-atik motor kepadanya dan dia mulai memperbaiki si rantai. Belakangan saya tahu dia seorang tukang yang bekerja membangun sebuah rumah di dekat sana, berasal dari Pemalang. Saya membuka dompet, mengecek apakah ada selembar dua puluh ribuan di sana. Yang tersisa hanya selembar lima puluh dan dua ribuan. Dengan agak berat hati, namun belakangan saya mantapkan, saya bermaksud memberi lembaran yang biru kepadanya. Saya ingin menghargai niat baiknya. Saya tahu sebagai tukang, he probably had a very long exhausting day too. Bahkan besok mungkin ia harus bangun pagi dan menguras tenaga lagi. Namun ia tetap membantu saya yang sedang bermasalah, hujan-hujanan.

Tak berapa lama si tukang selesai memperbaiki motor saya. Dia menyerahkan kunci dan peralatan lainnya, kemudian berlalu pergi. Saya segera membuka dompet sambil menghampiri dan memanggilnya, “Mas, mas, sebentar.” Dia berhenti, melihat ke arah saya yang sedang mengambil uang, lalu berkata, “Enggak, enggak. Enggak usah,” sambil melanjutkan jalannya. I was speechless. Being stunted, I thanked him. Dia menjawab, “Sama-sama,” dan kembali ke bedengnya.

Kerasnya hidup ibukota bisa mengubah siapa saja. Tapi bukan si tukang. He did something I cannot repay for the rest of my life. Every little kindness a person like him does, makes this world a little bit better. My left hand got hurted a little bit, but that’s a very tiny price worth the experience. Every risk of being ill because of the rain, every minute spent, every dirty oil and dust sticking on my fingers, worth the encounter with the kindness given by that humble guy,  God’s little angel.